Tulisan Gus Nadirsyah Hosen, dalam rangka Haul ke-21 Ayahanda Beliau Prof. KH. Ibrahim Hosen, LML.
“Kebenaran ilmiah itu harus ditegakkan.” Itu adalah kalimat yang sering diulang oleh almarhum Prof KH Ibrahim Hosen, LML (1917-2001).
Lahir pada tanggal 1 Januari 1917 di Tanjung Agung, Bengkulu, beliau menempuh pendidikan pertamanya di Singapura pada Madrasah Assegaf (1927). Sampai kelas empat, beliau pindah ke Mu’awanatul Khair Arabische School (MAS), Tanjung Karang, Lampung (1929). Sekolah tersebut didirikan oleh ayahnya. Setelah itu, beliau mengembara ke Jakarta, melanjutkan studinya di SMP Darul Muallimin Jamiatul Khaer (1934).
Tak puas dengan hanya bersekolah, beliau mulai memperluas cakrawala keilmuannya dengan mengaji di Cilegon, Banten, dengan berguru pada KH Abdul Latif. Guna mendalami ilmu al-Qur’an, Kiai Ibrahim muda berpindah ke Serang, Banten, untuk menimba ilmu kepada KH Tubagus Soleh Ma’mun.
Dari Serang-lah, beliau berangkat ke Buntet Pesantren. Di sana beliau mengaji ilmu mantiq, fiqih dan usul fiqih. Kiai Abbas yang dikenal seorang sufi dan ahli pada bidang tarekat, ternyata mengenalkan pemikiran fiqih kontemporer lintas mazhab pada santrinya itu sehingga mengantarkan Ibrahim mengambil studi di Fakultas Syariah, Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir.
Sebelum berangkat ke Mesir, ayahanda Prof Nadirsyah Hosen ini menyempurnakan rihlah nyantrinya pada Sayyid Ahmad di Solo dan KH Sanusi di Sukabumi. Beliau juga tercatat sebagai siswa Zjokyu Kanri Gakka (Sekolah Pegawai Tinggi Negeri), Batu Sangkar (awal 1945).
Dan itu adalah kalimat keteguhan beliau sebagai seorang ulama kharismatik yang hanya tunduk pada kebenaran ilmiah. Meski karena itu beliau harus menghadapi kerasnya hujatan karena pemikiran yang dianggap “tidak biasa” atau “tidak sesuai” dugaan (keinginan) banyak kalangan.
Padahal, pendapat dan fatwa beliau memiliki argumen dan pijakan yang sulit dibantah sebagai seorang ahli hukum Islam (faqih); dimana karakter fiqh itu memang dinamis dan fleksibel serta menawarkan banyak pilihan dalam mewujudkan tujuan dasarnya (maqashid al-syariah).
Pendapat atau fatwa beliau yang kemudian dianggap melawan arus itu sesungguhnya justru memberi pencerahan baru bagi setiap yang mempelajari fatwa-fatwa beliau.
Pendapat beliau yang dianggap kontroversial antara lain ketika beliau memperbolekam KB (pembatasan jumlah anak) pada 1967. Arus keinginan publik saat itu lebih condong pada pengharamannya. Kemudian, beliau pula ulama pertama yang membolehkan wanita menjadi hakim.
Puncak kontroversinya adalah pendapat beliau tentang SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah) bukan sebagai maisir. Pendapat beliau tentang ini banyak membuatnya dicemooh. Seperi kata beliau, kebenaran ilmiah harus ditegakkan. Beliau pun menulis buku tentang ‘Ma Huwa al-Maisir (Apa judi itu/1987). Dalam bukunya itu dari literatur-literatur fiqh yang membahas al-maisir, beliau menyampaikan bahwa definisi maisir yang diharamkan Al -Quran adalah permainan yang mengandung unsur taruhan yang dilakukan secara berhadap-hadapan.
Dan tidak setiap undian adalah judi.
Nabi biasa mengundi istrinya untuk diajak bepergian. Tidak setiap untung-untungan adalah maisir. Karena jual-beli dan sewa-menyewa juga mengandung untung-untungan. Mengutip Imam Syafii, beliau mengatakan, illat (alasan) haramnya maisir adalah taruhan dan berhadapan.
Hikmah dari illat itu adalah karena taruhan yang berhadap- hadapan dapat menimbulkan permusuhan dan lupa Allah. Maisir bukan haram li dzatihi (sifat dasarnya), melainkan haram li sadz dzariah: sebagai tindakan preventif untuk mencegah kerusakan.
SDSB bukanlah maisir, karena tidak ada unsur berhadap-hadapan. Statusnya mubah. Hanya saja, bila dalam prakteknya, SDSB menimbulkan ekses negatif, berlaku kaidah mencegah kerusakan harus didahulukan. Perbuatan mubah bisa berubah haram bila menimbulkan kerusakan.
Menurut beliau, yang berwenang menetapkan SDSB lebih banyak dampak buruk atau tidak adalah pemerintah. Lalu, setelah pemerintah menyatakan SDSB berdampak buruk, beliau berpendapat SDSB haram. Bukan karena statusnya judi, tapi karena pemicu kerusakan, berdasarkan penilaian pihak berwenang.
Begitulah beberapa contoh tentang keteguhan beliau dalam menyampaikan kebenaran ilmiah, tanpa takut pandangan pihak lain. Melihat beliau adalah melihat metodologi beliau dalam mengeluarkan pendapat hukum..
Gus Dur pun dalam salah satu ceramahnya menyebut beliau sebagai pembaharu hukum Islam di Indonesia.
Keulamaan beliau, dan keberanian beliau mengeluarkan pendapat menempatkan beliau pada posisi yang seolah tak tergantikan sebagai ahli fatwa. Beliau hingga kematiannya dan hingga kini, sangat melekat pada dirinya posisi sebagai ketua komisi fatwa. Hingga KH Ma’ruf Amin, mangan ketua MUI yang kini jad wapres pernahbmenyebutkan bahwa para ketua komisi fatwa berikutnya (setelah beliau) seolah hanya mewakili tempat Ibrahim. ‘MUI tak lepas dari komisi fatwa dan komisi fatwa tak lepas dari Ibrahim Hosen,” kata KH Marl’ruf Amin. Itu karena beliau adalah figur kunci yang tak bisa dipisahkan dari perjalanan dunia fatwa di Indonesia
Beliau meninggalkan legasi berupa pemikiran dan metodologi yang menjadikannya legenda pakar hukum Islam di Indonesia. Beliau tidak sekadar mendobrak pemikiran, tetapi juga melengkapi produk pemikiran pembaharuannua dengan kerangka metodologi yang kokoh, dan sulit dibantah kebenaran ilmiahnya.
Allahummarhamhu!
Lahul fatihah!