Dari Tabut Menuju Tobat: Sinergi Budaya dan Spiritualitas Islam

Lesungnews.com
Bengkulu – Oleh: Fatkur Rohman, M.Pd.I., Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Bengkulu
Bidang Dakwah
Setiap tahun, Bengkulu menyuguhkan rangkaian ritual Tabut yang penuh warna dan emosi. Tabut bukan sekadar festival budaya, ia adalah warisan sejarah spiritual yang menandai duka atas gugurnya cucu Rasulullah SAW, Sayyidina Husain bin Ali, dalam tragedi Karbala. Namun, di tengah kemeriahan peringatan itu, ada satu pertanyaan mendasar yang perlu direnungkan bersama: sudahkah rangkaian Tabut menjadi jalan tobat?
Tabut seharusnya bukan hanya menjadi peristiwa seremonial atau ajang tontonan wisata semata. Di balik iring-iringan dol, arak-arakan serban, dan simbol-simbol sakral lainnya, tersimpan pesan yang dalam tentang perjuangan, pengorbanan, dan nilai-nilai spiritual yang agung. Tabut adalah panggilan batin, bahwa manusia adalah makhluk spiritual yang haus akan nilai-nilai suci, yang tak bisa dijangkau hanya dengan logika semata.
Momentum Tobat dalam Rangkaian Tabut
Nilai-nilai yang terkandung dalam Tabut sejatinya sejalan dengan semangat tobat dalam Islam. Karbala mengajarkan keberanian melawan kezaliman, kesetiaan pada prinsip, dan kerendahan hati untuk kembali kepada jalan kebenaran. Maka, jika Tabut hanya berhenti pada ritual, kita kehilangan esensinya. Namun jika Tabut diarahkan sebagai refleksi spiritual dan ajakan untuk memperbaiki diri, maka ia menjadi bagian dari ibadah sosial yang bermakna.
Peran Pemerintah Daerah dan Tokoh Agama
Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah daerah, bersama tokoh agama, ulama, cendekiawan, dan budayawan bersinergi merancang dan menyelaraskan makna Tabut sebagai jalan tobat. Bukan dengan menghapus budaya, melainkan menyusun kembali narasi, simbol, dan prosesi dengan pendekatan spiritual dan edukatif, agar Tabut menjadi media dakwah kebudayaan yang tetap menjunjung tinggi nilai-nilai akidah Islam.
Melalui pelibatan aktif para dai, penyuluh agama, dan tokoh adat dalam setiap rangkaian Tabut, pesan-pesan moral keislaman dapat ditanamkan dengan lebih kuat. Panggung budaya bisa menjadi mimbar nilai, di mana kearifan lokal bertemu dengan keteladanan Rasul dan keluarganya.
Menjaga Warisan, Menyemai Kesadaran
Masyarakat Bengkulu tentu patut bangga memiliki Tabut sebagai warisan budaya takbenda. Tapi lebih dari itu, kita juga memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga kemurnian maknanya. Kita harus menjadikan Tabut bukan hanya sebagai peringatan, tetapi juga sebagai perbaikan, baik secara pribadi maupun kolektif.
Karena kita semua, sebagai manusia, adalah makhluk yang tak lepas dari kesalahan. Maka, kita perlu tobat kembali kepada nilai-nilai ilahi yang mendekatkan kita pada cinta, kejujuran, dan keadilan.
Penutup
Jika pemerintah daerah, tokoh agama, dan elemen masyarakat dapat bahu-membahu menyusun rangkaian Tabut sebagai sarana tobat, maka Bengkulu bukan hanya merawat sejarah. Tapi juga menumbuhkan peradaban yang bermartabat, di mana budaya bukan hanya dikenang, tapi juga menghidupkan kesadaran spiritual dalam kehidupan nyata. (Red)