“Jalan-Jalan ke Tabot, Pulangnya Tobat: Ketika Nafsu Belanja Jadi Cermin Iman”

Lesungnews.com
Oleh: Fatkur Rohman, M.Pd.I
Penyuluh Agama Islam KUA Kec. Singaran Pati Kota Bengkulu
Setiap datang bulan Muharram, Bengkulu seolah menyulap dirinya menjadi ladang budaya, pasar kuliner, sekaligus panggung ujian iman. Ya, pasar Tabot namanya. Sebuah tradisi tahunan yang penuh warna. Di sanalah, iman seorang hamba diuji bukan di medan perang, melainkan di lorong-lorong sempit yang dijejali aroma kue cucur, lempuk durian, pempek, hingga kerupuk kulit sapi goreng yang meletup menggoda.
Di satu sisi, Pasar Tabot adalah surganya produk lokal: semua jenis kue daerah ada, semua jenis pecah belah dari keramik hingga aluminium tersedia, semua makanan khas dari berbagai kabupaten di Bengkulu berjajar rapi lengkap dari ujung Sumatera hingga cita rasa nusantara. Bahkan, kadang-kadang kita seperti merasa sedang berada di pusat belanja antardaerah, padahal masih di tanah kelahiran sendiri.
Namun di sisi lain, bagi sebagian orang yang datang dengan niat “jalan-jalan saja”, pasar Tabot justru menjadi arena perjuangan melawan hawa nafsu. Ada yang awalnya cuma mau lihat-lihat, eh… pulang-pulang bawa dua kantong plastik, satu dus kue, dan satu perasaan bersalah karena “lapar mata”.
Doa Masuk Pasar: Perisai Iman di Tengah Godaan Dunia
Agar hati tetap terjaga dan dompet tak kebobolan karena nafsu, mari kita awali setiap langkah ke pasar dengan doa yang diajarkan Rasulullah SAW:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِ هَذِهِ السُّوقِ، وَخَيْرِ مَا فِيهَا، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا، وَشَرِّ مَا فِيهَا
Allâhumma innî as`aluka min khairi hâdzihis-sûq, wa khairi mâ fîhâ, wa a‘ûdzu bika min syarrihâ wa syarri mâ fîhâ.
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu kebaikan pasar ini dan kebaikan apa yang ada di dalamnya. Dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukan pasar ini dan keburukan apa yang ada di dalamnya.”
Doa ini adalah perisai sederhana namun kuat. Ia bukan hanya permohonan keselamatan dari tipu daya harga, tapi juga perlindungan dari godaan syahwat belanja yang tak perlu, niat yang berubah, dan iman yang melemah karena silau oleh dunia.
Cerita Jenaka: Ibu-ibu dan Jurus ‘Nawar dari Hati’
Seorang ibu muda pernah berkata dengan polosnya,
“Saya ke Tabot cuma mau beli sendok, Pak. Tapi pas sampai sana, kayak ada yang nyuruh beli piring, mangkuk, termos, dan karpet juga. Entah kenapa kaki saya malah jalan sendiri ke toko baju. Pulang-pulang, suami saya tanya: ‘Ini kamu beli semua karena kebutuhan, atau karena ketemu diskon?’ Saya jawab: ‘Karena takdir, Bang.’”
Tawa pun pecah. Tapi di situlah letak keindahannya. Pasar Tabot bukan hanya tempat belanja, tapi juga tempat orang belajar mengendalikan diri sekaligus belajar menerima kenyataan bahwa terkadang kita kalah oleh diskon dan aroma sate padang.
Tabot: Antara Tradisi dan Spiritualitas
Tradisi Tabot bukan hanya festival budaya atau pasar malam tahunan. Ia adalah simbol spiritual, pengingat sejarah duka cucu Nabi yang gugur di Karbala, serta momen refleksi tentang pengorbanan, kejujuran, dan keteguhan iman.
Namun, ketika sebagian besar masyarakat hanya terfokus pada keramaian pasar, jangan sampai kita lupa bahwa ruh Tabot adalah nilai, bukan hanya jual-beli. Maka, setiap langkah kita ke pasar Tabot sebaiknya disertai doa dan niat. Jangan sampai kaki ke pasar tapi hati lalai dari dzikir.
Penutup: Pasar Tabot dan Iman yang Terjaga
Mari kita rayakan Tabot bukan hanya dengan belanja dan senyum, tapi juga dengan menjaga hati. Karena di balik aroma kue dan warna-warni stand bazar, ada pelajaran tentang hidup sederhana, menerima takdir, dan bijak dalam berbelanja.
Kalau iman kita berhasil selamat dari godaan pasar Tabot, maka insyaAllah… ujian godaan diskon 11.11 dan promo flash sale di e-commerce pun bisa kita lewati dengan lebih tenang.
Catatan Redaksi:
Artikel ini ditulis untuk mengajak masyarakat menikmati budaya dengan tetap menjaga nilai dan akhlak. Karena warisan budaya itu indah, bila dibingkai dengan kebijaksanaan iman. (Red)